Di tengah tekanan ekonomi global dan ketidakpastian investasi, Indonesia menghadapi tantangan serius dalam mempertahankan pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja yang produktif. Dalam konteks ini, penggunaan tenaga kerja outsourcing khususnya di sektor manufaktur masih menjadi instrumen penting bagi industri untuk menjaga efisiensi biaya dan fleksibilitas tenaga kerja.
Namun, praktik ini terus menjadi perdebatan antara efisiensi ekonomi dan perlindungan hak pekerja. Oleh karena itu, urgensi penggunaan outsourcing perlu dilihat dari perspektif yang berimbang: antara kebutuhan dunia usaha dan perlunya kebijakan ketenagakerjaan yang adil dan berkelanjutan.
Realitas Ekonomi dan Kebutuhan Fleksibilitas Tenaga Kerja
Menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), pada kuartal II 2025, sektor manufaktur masih menjadi penyumbang terbesar Penanaman Modal Asing (PMA) dengan nilai mencapai USD 12,3 miliar, atau sekitar 41,6% dari total realisasi investasi nasional. Industri seperti tekstil, elektronik, otomotif, dan makanan-minuman terus menjadi motor ekspor sekaligus penyerap tenaga kerja.
Namun, industri padat karya seperti garmen dan alas kaki menghadapi tantangan besar: upah minimum yang terus naik di beberapa daerah industri utama, fluktuasi permintaan global, dan kompetisi ketat dengan negara seperti Vietnam dan Bangladesh yang menawarkan biaya produksi lebih rendah. Dalam situasi seperti ini, outsourcing menjadi alat strategis untuk menjaga daya saing biaya.
Praktik Outsourcing di Sektor Manufaktur: Umum, Namun Problematis
Penggunaan tenaga kerja outsourcing paling umum terjadi dalam fungsi-fungsi pendukung atau non-core, seperti:
▶️ Pengemasan dan pengepakan
▶️ Pembersihan (cleaning service)
▶️ Bongkar muat (logistik internal)
▶️ Keamanan (security)
▶️ Operator produksi musiman (terutama saat peak order ekspor)
Namun, laporan dari serikat pekerja dan investigasi LSM ketenagakerjaan menunjukkan bahwa tidak jarang pekerja outsourcing dipekerjakan untuk pekerjaan inti atau core production, yang sebenarnya dilarang dalam regulasi seperti Permenaker Nomor 19 Tahun 2012. Dalam praktiknya, status pekerja outsourcing kerap tidak jelas, upah lebih rendah dari karyawan tetap, dan rentan terhadap pemutusan hubungan kerja sepihak.
Menurut survei Lembaga Demografi FEB UI pada 2024, sekitar 32% dari pekerja di sektor manufaktur di Jawa Barat dipekerjakan lewat skema outsourcing, dan dari angka itu, hanya 45% yang mendapatkan kontrak kerja tertulis.
Urgensi Penggunaan Outsourcing yang Berkelanjutan
Meskipun penuh tantangan, menghapus praktik outsourcing secara total tanpa pengganti yang siap akan membawa risiko yang lebih besar:
❇️ Kenaikan Biaya Produksi Secara Tajam
Industri berorientasi ekspor akan sulit bersaing di pasar global jika harus mempekerjakan semua tenaga kerja sebagai karyawan tetap, terutama dalam kondisi pasar yang fluktuatif.
❇️ Pengurangan Serapan Tenaga Kerja Baru
Outsourcing sering digunakan untuk merekrut pekerja musiman, pekerja muda, atau pekerja tidak tetap. Jika skema ini dihapus, akan terjadi penurunan lapangan kerja dalam jangka pendek.
❇️ Relokasi Pabrik ke Negara Lain
Sejumlah perusahaan multinasional telah menyampaikan kekhawatiran bahwa ketidakpastian regulasi ketenagakerjaan di Indonesia termasuk ancaman penghapusan outsourcing mendorong mereka mempertimbangkan relokasi ke negara tetangga.
❇️ Kebangkitan Kembali Tenaga Kerja Informal
Tanpa skema outsourcing yang legal dan teregulasi, industri bisa saja beralih ke praktik informal yang justru lebih tidak melindungi pekerja tanpa kontrak, tanpa jaminan sosial, dan tanpa pengawasan.
Rekomendasi: Regulasi Ketimbang Eliminasi
Daripada menghapus outsourcing secara menyeluruh, pemerintah dan pemangku kepentingan perlu mengambil pendekatan reformasi dan penguatan tata kelola, antara lain:
✅ Penegasan Batas Core vs Non-Core Job
Pemerintah perlu membuat daftar sektoral pekerjaan yang boleh dan tidak boleh dialihdayakan, dengan sanksi tegas bagi pelanggaran.
✅ Standarisasi Kontrak dan Upah
Semua pekerja outsourcing wajib memiliki kontrak tertulis, upah setara dengan pekerja tetap untuk pekerjaan yang setara, dan akses ke BPJS Kesehatan serta Ketenagakerjaan.
✅ Audit dan Pengawasan Berkala oleh Pengawas Ketenagakerjaan
Pemerintah daerah bersama dinas ketenagakerjaan perlu aktif mengaudit perusahaan pengguna jasa outsourcing.
✅ Kapasitasi dan Sertifikasi Perusahaan Penyedia Jasa Outsourcing
Hanya perusahaan alih daya yang memiliki sertifikasi dan rekam jejak baik yang boleh beroperasi.
Jalan Tengah antara Fleksibilitas dan Perlindungan
Outsourcing di sektor manufaktur adalah realitas yang sulit dihindari di tengah tuntutan efisiensi global dan fleksibilitas tenaga kerja. Namun, praktik yang lepas dari regulasi akan berujung pada ketimpangan sosial dan konflik industrial. Oleh karena itu, pendekatan terbaik adalah bukan menghapus, tetapi mereformasi dan memperketat pengawasan terhadap praktik outsourcing, agar tercipta keseimbangan antara kebutuhan industri dan perlindungan pekerja.
Indonesia membutuhkan iklim ketenagakerjaan yang adaptif, namun tetap adil. Outsourcing bisa tetap menjadi solusi, asalkan dijalankan dalam koridor hukum dan etika kerja yang kuat.



